Caleg Terpilih Memiliki Potensi Konflik Kepentingan dengan Industri Rokok Pada Pemilu 2024

Ilustrasi merokok

KASATMATA.COM
- Menghitung jam hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan  hasil Pemilu 2024 di tanggal 20 Maret 2024 mendatang. 


KPU akan menetapkan siapa saja calon  presiden, calon wakil presiden, calon legislatif di tingkat daerah hingga nasional yang berhak  menduduki posisi pemimpin dan wakil rakyat. 


Nantinya mereka yang terpilih akan berwenang untuk  membuat peraturan, mengesahkan, serta meninjau kembali peraturan usang yang sudah tidak  relevan, untuk kemajuan dan perbaikan Indonesia kedepannya. 


Namun, pada praktiknya, presiden  dan anggota legislatif rentan memiliki konflik kepentingan dengan oligarki dan kepentingan uang,  dibandingkan kepentingan masyarakat banyak. Salah satunya adalah tentang kesehatan. 


Undang-Undang Dasar 1945 mewajibkan negara untuk  menjamin kesehatan warga negaranya. Dalam konteks potensi konflik kepentingan, beberapa contoh  yang sudah terjadi adalah proses pembuatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dimana ada ayat yang hilang tentang pengendalian zat adiktif yang diketahui dihapus oleh  oknum tak bertanggungjawab yang menduduki posisi wakil rakyat di DPR RI. 


Manik Marganamahendra mengatakan di tingkat eksekutif,  di tahun 2003 silam Indonesia batal mengaksesi perjanjian internasional bernama Framework  Convention on Tobacco Control (FCTC) karena Menteri Kesehatan yang datang ke New York tiba-tiba mendapat telepon dari Presiden untuk tidak menandatangani perjanjian dan pulang ke tanah air. 


“Belum lagi di setiap Pemilu tahun 2014 dan 2019 cukai rokok tidak pernah naik dengan alasan untuk kestabilan. Dari semenjak revisi UU Cukai disahkan tahun 2009 hanya pada saat Jokowi mengikuti  Pilpres saja cukai rokok tidak pernah naik,” jelasnya. 


Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC). Intervensi akibat adanya potensi konflik kepentingan ini seyogyanya harus diminimalisir dan  dihapus. 


Maka dari itu penting bagi masyarakat untuk mengawasi dan mengevaluasi kinerja para  pemimpin di tatanan eksekutif dan legislatif sebagai bentuk demokrasi yang sesungguhnya.

 

IYCTC  sebagai koalisi orang muda memiliki gerakan pilihan tanpa beban yang diinisiasi sebagai bentuk  mengawal pemilu. 


Pasca pemilu, situs tersebut dapat berfungsi sebagai media pengawasan terhadap anggota legislatif dan eksekutif terhadap kinerja serta pernyataan sikapnya khususnya terkait  dengan masalah rokok.


“Berdasarkan hasil perhitungan sementara, kami sudah cocokkan dengan yang ada di website,  mayoritas petahana yang memiliki rekam jejak potensi konflik kepentingan dengan industri rokok  kembali terpilih di 2024, namun tentunya kita masih menunggu hasil resmi dari KPU,” ucap Manik.


Ni Made Shellasih, Program Manager IYCTC, menambahkan, laporan dari Ruang Kebijakan  Kesehatan Indonesia (RUKKI) 2023 menunjukkan angka indeks gangguan industri tembakau atau tobacco interference index sebesar 84, angka yang sangat tinggi bahkan tertinggi kedua di Asia setelah  Jepang. 


“Angka ini menunjukkan bahwa ada banyaknya intervensi kebijakan yang dilakukan oleh  industri tembakau yang mengakibatkan kebijakan publik di Indonesia terkait pengendalian  konsumsi rokok cenderung lemah,” imbuhnya.


Bahkan, mengutip pernyataan yang disampaikan oleh Faisal Basri  pada acara Bocor Alus Politik yang dipublikasikan oleh Tempo (7 Maret 2024) menyampaikan bahwa  lobi rokok di istana kuat sekali. Beliau juga menyampaikan bahwa intervensi industri rokok juga  melalui legislasi dan kementerian.


“Penting bagi kita untuk waspada terhadap orang-orang yang memiliki rekam jejak dengan industri  rokok. Ini sebenarnya berlaku kepada industri apapun, untuk menjaga batas kompromi pengusaha  dan penguasa. Konflik kepentingan antara industri dengan calon pemimpin rentan menghasilkan  kebijakan yang pro terhadap satu golongan tertentu dan abai atas masalah kesehatan masyarakat,”  tutup Ni Made Shellasih.***